Senin, 04 April 2011

bahtsu kutub hadits

Shahîfah dan kitub al-Hadits
A.Latar belakang
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa salah satu pengutusan Nabi Muhammad SAW adalah membawa hijrah umat manusia dari zaman kegelapan (Jahiliyyah) ke zaman yang lebih baik, meskipun mengalami banyak tantangan dan cobaan proses transformasi ini tidak terputus dengan wafatnya Nabi, bahkan terus bergerak melalui Sahabat, Tabi’in dan para Ulama hingga akhirnya pada masa kita dapat merasakannya.
Begitu pula halnya dengan hadits, mengalami proses perubahan signifikan dari generasi satu ke generasi berikutnya, sehingga munculah berbagai produk-produk, pandangan dan maksud dari pada ahlu hadits yang berbeda-beda, ada yang pro dan ada juga yang kontra.
Diantara yang menjadi permasalahan adalah munculnya kegiatan tulis-menulis selain menulis Wahyu (Al-Qur’an), karena menurut sejarah Bangsa Arab, bahwa mereka sudah lama mengenal tulisan dan memakainya untuk mencatat kejadian penting, pemerintahan dan undang-undang, pahkan sebagian Sejarawan menyebutkan bahwa mereka mengenal tulisan sebelum Islam masuk (Jahiliyah) bahkan ketika Islam masuk kegiatan ini mengalami perkembangan yang pesat, dari itu tak bisa kita elakan adanya produk selain wahyu, tepatnya adalah penulisan al-Hadits an-Nabawy as-Syarief.
¬Dalam pembahasan kali ini pemakalah akan membatasi pembahasannya seputar produk (shahîfah dan kitab hadits) yang menjadi acuan khazanah perkembangan Ilmu Hadits.
B. Permbahasan
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bangsa Arab mempunyai keistimewaan, salah satunya adalah hafalan yang kuat mengikat dan membekas dalam sanubari mereka, maka para sahabat –dalam kegiatan transformasi hadits- mampu menghafal hasil ajaran Rasul yang disampaikan kepada mereka, maka dari itu mereka merendahkan tulisan, bahkan menganggap ‘Aib. Tentu saja ini berpengaruh dalam kegiatan yang berkenaan dengan hadits, salah satunya adalah Kaum Muhajirin yang tidak mampu menyamakan kemampuan hafalan mereka, maka tulisanlah salah satu pengikatnya, tentunya banyak tanggapan, ada yang mendukung dan ada yang menentangnya.
1. Periwayatan Rasul tentang Tulisan
Dan adapun diantara hadis yang melarang menuliskanya berasal dari :
• روى ابو سعيد الخدري أنّ الرسول الله قال : لا تكتبوا عنيّ , و من كتب عنّي غير القرأن فليمحه <صحيح مسلم بشرح النّواوى ج١٨ >
• Hadis riwayat Muslim yang berbunyi “Jangan kamu menuliskan apa-apa yang datang dariku, siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah”.
• قال ابو سعيد الخدري جهدنا بالنّبى أن يأذن لنا فى الكتاب و فى رواية منه قال : استأذنا النبى فى الكتابة فلم يأذن لنا فلم يأذن لنا
• Riwayat Abu Hurairah ra “Rasul saw datang kepada kami sedang kami menulis hadis, lalu beliau bersabda “Apa yang kalian tulis ?” Kami menjawab “Hadis-hadis yang kami dengar dari engkau. Beliau berkata “Apakah kalian menghendaki kitab selain kitabullah ? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan karena mereka menulis dari kitab-kitab selain kitabullah”.
Hadis yang membolehkan penulisan hadis berasal :
• Riwayat Abdullah bin Amr bin As. Ia menulis apa saja yang didengarnya dari Rasulullah saw karena ingin menghafalkanya, tetapi orang Quraisy mengkritiknya. Menurut mereka Nabi hanya manusia biasa yang berbicara dalam keadaan senang dan marah. Hal ini kemudian Abdullah bin Amr bin As menyampaikan kepada Rasulullah saw yang kemudian bersabda “Tulislah (hadis itu)! Demi Allah, tidak keluar dari Rasul itu kecuali suatu kebenaran”(HR Bukhari).
• قال عبد الله بن عمرو بن العاص رضى الله عنهما : كنت اكتب كلّ شيء أسمعه من الرسول الله, و الرّسول بشير يتكلّم فى الغضب و الرّضا, فأمسكت عن الكتابة, فذكرت ذالك لرسول الله, فأومأ بأصبعه الى فيه و قال : اكتب فوالذّي نفسى بيده ما خرج منه الا الحق, <سنن الدارمى>
• قال ابو هريرة رضى الله عنه : ما من أصحاب النبى أحد أكثر حديثا عنه منّي إلا ما كان من عبد الله بن عمرو, فإنّه كان يكتب ولا اكتب <فتح البارى>

Setelah kita mengetahui beberapa pendapat ulama maka maka kita perlu membatasi pembahasan agar tidak melenceng dan dapat kita ambil kesimbulan bahwa hasil prodak tentang penulisan hadits Nabi sudah ada semenjak zaman Rasul, dan berlanjut pada masa Sahabat, Tabiin secara berkelanjutan.
Adapun hasil produk yang dimaksud adalah Shahîfah dan kitab Hadits, berikut definisi masing-masing.
2. Definisi.
Shahîfah berarti al-Qirtos al-Maktub , juga berarti lembaran , juga berarti lembaran yang berisi tulisan , ada juga yang mengartikan dengan kulit yang berwarna keputihan atau lembaran/lempengan tipis, untuk tempat menulis tulisan .
Setelah melihat beberapa keterangan yang memperbolehkan penulisan maka ditemukanlah beberapa shahîfah pada masa sahabat, namun sebagian besar dari mereka tidak mengutamakan ini, karena konsentrasi mereka terhadap pengumpulan Wahyu, maka mereka menyingkirkan segala hal yang bisa mencampurkan wahyu dengan lainnya, namun seiring dengan bergantian kebutuhan dalam kepentingannya ditemukanlah beberapa shahîfah, diantaranya:
a. As-Shahîfah as-Shadiqah li-‘Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash.(sekitar abad 7-65 H)
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Rasul telah memberikan izin kepada Abdullah bin Amru RA untuk menuliskan hadits-hadits, lisensi ini didapatkan karena beliau mempunyai kemampuan menulis yang sangat bagus dan terpercaya, dan shahîfah ‘Amru bin Ash dinamakan Shahîfah as-Shadiqah, pemakaian nama ini diambil dari kegiatan penulisan beliau langsung kepada Nabi, maka hal ini merupakan periwayatan yang paling terpercaya dan paling tinggi peringkat kekuatanya, dan Amru bin ‘Ash menjaganya selalu didalam kotak yang selalu terkunci karena ditakutkan hilang, dan penjagaan ini berlanjut setelah ia meninggal, maka keluarganyalah yang menjaganya.
Shahîfah ini berisikan kurang lebih 1000 hadits (seperti yang dikatakan oleh Ibn ‘Atsir), Cucunya yg bernama Amr bin Syu’aib meriwayatkan hadis-hadis tersebut sebanyak 500 hadis, namun shahîfah ini tidak sampai kepada kita secara utuh seperti aslinya, namun beberapa hadits bisa kita temukan dalam buku musnad Imam Ahmad bin Hambal dalam juz 11, 12, 13. Selain itu dapatlah kita temukan secara kutipan pada kitab Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan At-Tirmuzi dan Sunan Ibnu Majah. Shahîfah ini termasuk shahîfah yang sangat penting karena ini menjafi bukti dari perjalanan sejarah ilmiyyah yang sudah diberi lisensi khusus dari Rasul.
Abdullah memberikan hadits-hadits yang dikumpulkannya kepada murid-muridnya diantaranya dua kitab diberikan kepada Hasan bin Syafiy bin Mati’ di mesir, yang mana slah satu kitabnya berisi tentang hadits yang bersangkutan dengan hari kiamat dan yang lainnya berisi tentang keinginan-keinginan rasul, maka Amru bin ‘Ash mendapatkan peringkat khusus dikarenakan ia termasuk orang yang pertama membukukan hadits pada masa Rasul.
b. Shahîfah Jabir bin Abullah al-Anshary.(setiat abad ke 3-68 H)
Jabir bin Abdillah bin Amr al-Anshari (w diperkirakan wafat 78 H). Ia memiliki catatan hadis dari Rasul SAW tentang manasik haji. Hadisnya diriwayatkan Muslim. Catatanya dikenal Shahîfah Jabir.
Diriwayatkan bahwa
Abu Hurarirah ad-Dausi (w. 59 H). Ia memiliki catatan yang dikenal dengan Shahîfah Shahihah. Yang diriwayatkan kepada anaknya Hammam.
Abu Syah (Umar bin Sa’ad al-Anmari), seorang penduduk Yamman. Ia meminta Rasul saw mencatatkan hadis, ketika Rasul berpidato dalam penakklukan Makkah (futuh Makkah) .Qatadah bin Da’amah as-Sudusy memuji naskah Jabir ini dgn katanya Sungguh shahîfah ini lbh kuhafal daripada surat Al-Baqarah.
Di antara tabi’i yg mempunyai naskah hadis ialah Human bin Munabbih . Ia adl seorang tabi’i yg alim yg berguru kepada sahabat Abu Hurairah r.a. dan mengutip hadis Rasulullah saw. daripadanya banyak sekali. Hadis-hadis tersebut kemudian dikumpulkannya dalam satu naskah yg dinamai Ash-Shahîfah ash-Shahihah. Naskah itu berisikan hadis sebanyak 138 hadis.
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil hadis-hadis Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali menukil hadis-hadis tersebut ke dalam kitab sahihnya terdapat dalam beberapa bab.
Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan pada akhir abad pertama hijrah pada masa tabiin atas prakarsa Khalifah Umar bin Abdul Aziz dimana beliau memerintahkan kepada Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah yang sudah ditulis sebelumnya.

Pada abad kedua hijrah, Imam Malik bin Anas menyusun kitab ‘Al-Muqaththa’

Masa Keemasan Kodifikasi Hadis
Masa ini berlangsung pada abad ketiga hijrah yang ditandai dengan disusunnya al-Kutub As-Sittah (Enam Kitab Induk Hadis), yaitu :
Shahih al-Bukhari
Shahih Muslim
Sunan Abi Dawud
Sunan at-Tirmidzi
Sunan an-Nasa’i
Sunan Ibnu Majah
Hadis Pasca Masa Keemasan
Pada abad keempat hijrah muncul kitab-kitab hadis yang secara global lebih longgar dari sisi kwalitasnya dibanding dengan al-Kutub as-Sittah, misalnya : Shahih Ibnu Hibban, Mu’jam at-Thabrani, Sunan ad-Daruquthni dan al-Mustadrak
Setelah abad keempat hijrah muncul kitab-kitab yang menekankan pada :
1. Penghimpun hadis-hadis pilihan yang disusun sebelumnya baik dari kitab Shahih al-Bukhari dan uslim, al-Kutub as-Sittah atau lainnya
2. Penjelasan atau komentar (syarh) terhadap kitab-kitab yang disusun sebelumnya

Persamaan dan perbedaan
Secara umu kita dapat melihat perbedaan diantara kedua tersebut, berikut pemakalah mencoba membedakannya:
Shahîfah catatan-catatan yang bersifat pribadi, sedangkan kitab hadits bersifat umum
Shahîfah digoreskan diatas benda (selain kertas) masih tersisip didalamnya kode-kode pribadi, sedangkan kode dalam kitab hadits sudah standart dan bias dipahami orang banyak
Shahîfah adalah salinan yang ditulis tangan, sedangkan kitab hadits sudah menggunakan mesin dalam menggandakannya
Shahîfah

Kedudukan sebagai dokumentasi hadist
Meskipun kedua hal tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan, namun keduanya (menurut pemakalah) sangat penting dalam alur sejarah pencatatan hadits, hitab hadits merupakan hasil produk yang didasarkan dari shahîfah-shahîfah,

C. Penutup
Dari uraian singkat diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penulisan hadis telah dimulai saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, zaman khulafa urasyidin, tabi’in, tabi’i at-tabi’in namun masih dalam bentuk shahîfah, dan masih bersifat pribadi.
Pada abad ke dua atas perintah Kahlifah Umar bin Abdul al-Azis kepada Abu bakar bin Muhamad ibn Amr ibn Hazm dan Muhamad bin Shihab Az-Zuhri dilakukan pembukuan hadis (tadwin) dan dilanjutkan usaha-usaha penyeleksian hadis-hadis yang shahih saja.
Pada periode berikutnya (ulama’ mutaakhirin) dilakukan penyusunan, klasifikasi serta pembukuan hadis-hadis yang diupayakan agar hadis bisa dengan mudah di gunakan oleh masyarakat muslim seluruh dunia.
Faktor yang mempengaruhi pembukuan hadis yang dilakukan para sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in adalah semangat dorongan dari Rasul saw. Sedangkan faktor kedua dipengaruhi oleh keadaan politik perebutan kekuasaan, dengan membuat hadis-hadis palsu untuk mencari pengaruh.

D. Referensi
Al-Khatib, Dr. Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits ulumuhu wa musthalahuhu, Daar el-Fikr, Beirut, Libanon.
Badran, Badran Abu al-‘Ainain, al-Hadits an-Nabawiy asy-Syarif : tarikhuhu wa mustalahuhu, Muassash Syabab al-Jami’ah, Iskandariyyah, 1983.
Subhi, as-Shalih Dr, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, Darul ‘Ilmi-lil-Mulayin, Beirut, Libanon, cet I, 1959.
Azami, Muhammad Musthafa, Memahami Ilmu Hadits : Telaah Metodologi dan Imu Hadits, Penerbit Lentera, Jakarta, cet II, 1995.
Sulaiman, H. M. Noor, PL, Antologi Ilmu Hadits, Gaung Persada Press, Jakarta, Cet I, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar