Selasa, 25 Mei 2010

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ADIL
I. Pendahuluan
Kata ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) . Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain (عَيْن), dâl (دَال), dan lâm (لاَم), yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ (اَلْاِسْتِوَاء = keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (اَلْاِعْوِجَاج = keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang ber¬tolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem¬peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "adil" diartikan: (1) tidak beratsebelah/tidak memihak, (2)berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
Pada makalah ini akan membahas konsep adil di dalam al-Qur’an, hubungan adil dengan amanat, dan pendapat ‘ulama tentang adil.
II. Pembahasan
A. Hubungan Adil dan Amanat
Amanat yaitu: segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia dan diperintahkan untuk dikerjakan. Dalam ayat ini Allah memerintahkan hambanya untuk menyampaikan amanat secara sempurna, utuh tanpa mengulur-ulur atau menunda-nundanya kepada yang berhak. Amanat itu mencakup perwalian, harta benda, rahasia, dan perintah yang hanya diketahui oleh Allah.
Dalam hubungannya adil dengan amanat sangatlah terkait erat. Karna keadilan tergantung dengan amanat. Adil tidak akan bisa jalan apabila amanat itu tidak ada. Seperti firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 58 berikut ini:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Macam-macam Amanat
Pertama: amanat hamba dengan Rabb-nya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya untuk dipelihara, berupa melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan mendekatkannya kepada Rabb.
Kedua: amanat hamba dengan sesama manusia, diantaranya adalah mengembalikan titipan kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia dan lain sebagainya yang wajib dilakukan terhadap keluarga, kaum kerabat, manusia pada umumnya dan pemerintah.
Ketiga: amanat manusia terhadap dirinya sendiri, seperti memilih yang paling pantas dan bermanfaat baginya dalam masalah agama dan dunia.
Allah berfirman: “Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan hukum dengan adil”, mencakup menetapkan hukum dalam masalah pertumpahan darah, harta, dan kehormatan. Baik sedikit atau banyak, terhadap karib kerabat atau orang lain (yang tidak memiliki hubungan kerabat), orang yang fasik atau orang yang saleh dan musuh sekalipun. Allah berfirman: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al Maidah:8). Maksud “Adil” di sini adalah, memberikan sanksi-sanksi dan hukuman sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah melalui rasul-Nya.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, Yang demikian ini adalah pujian Allah atas perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, yang mencakup maslahat dunia dan akhirat menghindarkan mereka dari berbagai macam mudarat kepadanya. Karena (perintah dan larangan tersebut) berasal dari yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Yang Maha Mengetahui kemaslahatan hamba-hambanya yang tidak mereka ketahui.

B. Adil dan al Qist
Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Seperti firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 8 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Penafsiran kata-kata sulit:
شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ : saksi-saksi yang menunaikan kesaksian dengan adil, tidak berat sebelah.
لاَ يَجْرِمَنَّكُم : janganlah (sesuatu) mendorong kamu
الشَنَانُ : permusuhan dan kebencian
خَبِيرٌ : yang mengetahui secara mendetail dan tepat
Keterangan dan kandungan ayat:
Ada dua kalimat yang berarti agak mirip al Qisth dan al Adl, yang mana keduanya mempunyai arti yang sama, yaitu Adil, namun esensi dari pemakaiannya dalam al Qur’an terasa berbeda antara dua kalimat tersebut, Lantas apa yang membedakan al-qisth dengan al 'adl? Imam Ghazali saat menerangkan sifat Allah al Muqsith (dalam bukunya Asma' al Husna), mengatakan bahwa al Muqsith adalah yang memenangkan atau membela yang teraniaya dari yang menganiaya dengan menjadikan yang teraniaya dan menganiaya sama-sama rela, sama-sama puas dan senang dengan hasil yang diperoleh.
Jika demikian, al-qisth tidak hanya sekedar adil, karena ada keadilan yang tidak menyenangkan salah satu pihak, misalnya apa yang kita lihat di pengadilan, yang teraniaya mendapat keadilan dengan dijatuhkannya sangsi terhadap orang yang menganiaya, sedangkan yang menganiaya mendapat sesusahan (karena dipenjara misalnya). al Qisth adalah adil tetapi sekaligus menjadikan kedua belah pihak, atau semua pihak, mendapatkan sesuatu yang menyenangkan.
Allah berfirman untuk menjadi saksi dan memerintahkan untuk menegakkannya bil qisth, bukan bil adl. Allah berfirman: " Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(al maidah 5) persaksian harus menyenangkan semua pihak, antara yang bersangkutan, maupun pihak yang lain mendapatkan dengan rela.
Tafsir ayat
Diantara perjanjian Allah dengan umat Islam ialah untuk menegakan keadilan pada manusia. Yakni, keadilan mutlak yang neracana tidak pernah miring karena benci ataupun cinta, kedeketan hubungan, kepentingan atau hawa nafsu, dan kondisi apapun. Keadilan yang bersumber dari pelaksanaan ketaatan kepada Allah yang bebas dari segala pengaruh, dan bersumber dari perasaan dan kesadaran terhadap pengawasan Allah yang mengetahui segala yang tersembunyi dalam hati
(ayat)
Ayat diatas ditunjukan agar jangan sampai kebencian mereka kepada orang-orang yang telah menghalang-halangi mereka masuk ke Masjidil Haram itu menjadikan mereka melakukan pelanggaran dan tindakan melampaui batas terhadap musuh mereka. Ini merupakan suatu puncak ketinggian di dalam mengendalikan jiwa dan bertoleransi, yang Allah mengangkat mereka ke puncak itu dengan manhaj tarbiyah Rabbaniyyah yang lurus.
Memang ketika itu kondisi umat islam tertindas dengan tidak di perbolehkannya memasuki masjidil haram, tetapi Allah menyerukan kepada umat muslim ketika itu untuk tetap berlaku adil kepada siapapun tanpa terkecuali. Jika kita lihat sepintas sepertinya tidak ada penanggulangan apapun dari pihak islam padahal Allah memberikan suatu solusi yang sangat jitu, yaitu berlaku adil, karena adil menjadikan kita selalu bertaqwa dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan menjauhi segala apa yang dilarangnya, pandangan non muslimpun akan berubah dengan sendirinya ketika kita benar-benar menerapakan ini.
peringatan agar rasa kebencian mereka kepada orang lain jangan sampai menjadikan mereka berpaling dari keadilan. Ini merupakan puncak yang sangat tinggi dan sangat sulit bagi jiwa. Ini merupakan tahapan dibalik pengendalian diri untuk tidak melakukan pelanggaran dan supaya tabah mengekangnya. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan menegakan keadilan meskipun didalam hati terdapan perasaan benci dan tidak suka kepada yang bersangkutan.
Ayat ini juga menerangkan tentang sifat pemimpin islam yang ideal, dan menganjurkan kepada orang-orang yang beriman, jika diberi amanat untuk memimpin agar memimpin secara adil supaya terciptanya keseimbangan antara hubungan sesama manusia, karena ketika keseimbangan (keadilan) tercipta, maka terpeliharalah keharmonisan tatanan masyarakat baik lingkup kecil maupun besar, dengan cara selalu berlomba lomba kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan maupun seluruh faktor yang menjurus kepada keburukan, karena keburukan bertentangan dengan dhamir, secara tidak langsung kita berlaku tidak adil (dhalim) terhadap diri sendiri, bagaimana bisa menciptakan keseimbangan jika terhadap diri sendiri saja tidak adil, maka fungsi

C. Adil dalam arti "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya".
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ (وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْكَانَ ذَاقُرْبَى = Dan apabila kamu berkata maka hendak¬lah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu). Pengertian ‘adl seperti ini me¬lahirkan keadilan sosial.

D. Konsep Adil dalam Al-Qur’an
Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M. Quraish Shihab, bahwa ada empat makna keadilan, yaitu:
Pertama, adil dalam arti "sama". Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada QS. An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak.
Kedua, adil dalam arti "seimbang". Pengertian ini ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. Al-Infithâr [82]: 7.
Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya".
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. ‘Adl di sini berarti ‘me¬me¬lihara kewajaran atas ber¬lanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke¬mungkin¬an untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengan¬dung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. Al ‘Imrân [3]: 18, yang menunjukkan Allah swt. sebagai Qâ’iman bi al-qisth (قَائِمًا بِِالْقِِسْط = Yang menegakkan ke¬adilan).

E. Konsep Adil menurut Muhadits dan Hakim
Menurut para ulama hadits keadilan adalah jauhnya diri mereka dari bohong dalam periwayatan dan penyimpangan dengan melakukan sesuatu yang mengharuskan tidak diterimanya riwayat tersebut.
Al-Ghazali dalam kitab al-Musthafa memberi definisi keadilan dalam riwayat dan pensaksian sebagai suatu ungkapan mengenai konsisten perjalanan hidup dalam agama, hasilnya merujuk kepada suatu keadaan yang mantap dalam jiwa yang menjamin melakukan taqwa dan mu’ruah (sikap jiwa) sehingga mencapai kepercayaan jiwa yang dibenarkan, maka tidak ada kepercayaan atas perkataan bagi orang yang takut Allah dari kebohongan. Jadi maksud keadilan di sini adalah penerimaan riwayat tanpa dibebani pencarian sebab-sebab adil dan kesucian diri.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Yang dimaksud dgn adil ialah orang yg mempunyai sifat ketaqwaan dan muru’ah”.
Kriteria ‘adil menurut ahli hadits adalah orang yang muslim, merdeka, tidak melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Imam Syafii ditanya, “siapakah ‘adil itu?”, beliau menjawab, “Tidak ada orang yang selamat sama sekali dari maksiat, namun jika seseorang tidak melakukan dosa besar dan kebanyakan amalnya baik maka dia ‘adil.
Sedangkan definisi keadilan menurut seorang hakim adalah hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan, “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih dan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya.
Menurut seorang hakim, adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam memberikan hukum, sering diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan dalam memberikan hak orang lain, tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi.
Seperti yang dijelaskan Al Qur'an dalam surah Ar Rahman ayat 7-9 yaitu:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ () أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ () وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
"DanAllah telah meninggikan langit-langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan dengan adil dan janganlah kamumengurangi neraca itu".

F. Keadilan dalam ajaran Islam
Sikap adil dalam syariah Islam dapat kita lihat dalam setiap sendi ajarannya, baik secara teoritis maupun aplikatif, tarbawiy (pendidikan) maupun tasyri'iy (peraturan). Islam sangat moderat dalam bidang akidah, pemahaman, ibadah, ritual, akhlaq, adab, hukum dan peraturan.
Islam mewajibkan ummatnya berlaku adil dalam semua urusan. Al Qur'an mendistribusikan kewajiban sikap adil dalam beberapa hal seperti :
1. Menetapkan Hukum
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." QS.4:58
2. Memberikan hak orang lain
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebajikan.." QS. 16:90
3. Adil dalam berbicara
"Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabatmu."QS. 6:152
4. Adil dalam kesaksian
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatnu. QS. 4:135
5. Adil dalam pencatatan hutang piutang
"Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.."QS 2:282
6. Adil dalam Mendamaikan perselisihan
".maka damaikan antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.."QS. 49:9
7. Adil dalam menghadapi orang yang tidak disukai
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu pada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.QS. 5:8
8. Adil dalam pemberian balasan
".dan barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu”. QS. 5:95

III. Penutup
‘Adl/Al-‘Adl (عَدْل) merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengan¬dung arti ‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Oleh sebab itu, manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (عَدْل) ini setelah meyakini keadilan Allah dituntut untuk me¬negak¬kan ke¬adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan per¬tama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri.
Adapun hubungannya adil dengan amanat sangatlah terkait erat. Karna keadilan tergantung dengan amanat. Adil tidak akan bisa jalan apabila amanat itu tidak ada.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Muhammad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Daar al-Fikr, t.th
Al-Thabary, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir al-Thabary, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992
Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damasyiq: Dar al-Fikr, 1966
Hajar, Al-Hafizh Ibnu, Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar 9, Maktabat Thayibah, 1404 H
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, Jilid 4, 2002
Shihab, Muhammad Quraisyi, Tafsir Al-Misbah, Volume 3, Lentera Hati, 2002
Shihab, Muhammad Quraisyi, Wawasan al-Qur’an (tafsir maudhu’i atas berbagai persoalan umat), Bandung: Mizan, t.th

Rabu, 28 April 2010

Jumat, 29 Januari 2010

Selasa, 19 Januari 2010

ayat-ayat Adil

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ADIL, AL-QIST DAN AMANAT
Oleh : Win Asep Ari Gayo

I. Pendahuluan
Secara bahasa kata ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً – وَعَداَلَةً) yang dapat kita artikan segala hal yang berdiri dalam diri sesuatu yang dianggap lurus.
ﻋﺪﻞ berasal dari tiga akar huruf ‘ain (عَيْن), dâl (دَال), dan lâm (لاَم), yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ (اَلْاِسْتِوَاء = keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (اَلْاِعْوِجَاج = keadaan menyimpang).
Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang ber-tolak belakang, yakni mustaqiem ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’.
Pada makalah ini akan membahas ayat-ayat yang berbicara tentang adil dan komponen yang bersangkutan dengan ayat tersebut.

II. Pembahasan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata Adil dapat diartikan :
(1) tidak berat sebelah/tidak memihak.
(2) berpihak kepada kebenaran.
(3) sepatutnya tidak sewenang-wenang.
Sedangkankan didalam al-Qur’an banyak kata adil yang digunakan dan memiliki aspek dan objek yang beragam, keragaman tersebutlah yang mengakibatkan keragaman makna ‘adil.
Didalam al-Qur’an kata ‘adil yang berarti positif atau keadaan lurus (al istiwa) dan berarti negative atau keadaan menyimpang(al ‘iwajaj), sedangkan motif kata adil yang berarti positif adalah seperti surat al-Maaidah ayat 18:
ﺍﻋﺪﻟﻮﺍׂھﻮﺃﻗﺮﺐﻠﻟﺘﻗﻮﻯ
Dan dalam surat An Nisa’ ayat 58 :
ﺃﻦׂﺘﺤﻜﻢׂﺑﺎﻠﻌﺪﻞ
Dalam kalimat ini dapat diambil kesimpulan bahwa adil memiliki arti sesuatu yang bisa mendekatkan kita agar selalu bertakwa, dalam artian bahwa keadaan yang kita ciptakan sesuai dengan koridor penjalanan perintah dan penjauhan dari larangan.
Al-Ghazali dalam kitab al-Musthafa memberi definisi keadilan dalam riwayat dan pensaksian sebagai suatu ungkapan mengenai konsisten perjalanan hidup dalam agama.
hasilnya merujuk kepada suatu keadaan yang mantap dalam jiwa yang menjamin melakukan taqwa dan mu’ruah (sikap jiwa) sehingga mencapai kepercayaan jiwa yang dibenarkan, maka tidak ada kepercayaan atas perkataan bagi orang yang takut Allah dari kebohongan. Jadi maksud keadilan di sini adalah penerimaan riwayat tanpa dibebani pencarian sebab-sebab adil dan kesucian diri.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Yang dimaksud dgn adil ialah orang yg mempunyai sifat ketaqwaan dan muru’ah”.
Sedangkan definisi keadilan menurut seorang hakim adalah hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan, “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih dan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya.
Menurut seorang hakim, adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam memberikan hukum, sering diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan dalam memberikan hak orang lain, tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi.

Surat an Nisa ayat 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
a. kosa kata
ﺍﻟﺃﻤﺍﻨﺔ Amanat yaitu: segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia dan diperintahkan untuk dikerjakan. Dalam ayat ini Allah memerintahkan hambanya untuk menyampaikan amanat secara sempurna, utuh tanpa mengulur-ulur atau menunda-nundanya kepada yang berhak. Amanat itu mencakup perwalian, harta benda, rahasia, dan perintah yang hanya diketahui oleh Allah.

b. Penafsiran ayat
sebenarnya ayat ini masih berhubungan dengan ayat sebelumnya yang ditujukan kepada orang Yahudi tidak memenuhi amanah yang Allah percayakan kepada mereka, yakni menyampaikan kitab suci dan tidak menyembunyikannya. al-Qur’an tidak menuntut kaum Muslim agar tidak berbuat demikian, sesungguhnya Allah maha agung, menyandang segala sifat terpuji dan suci.
Dalam ayat ini Allah menyuruh kamu menunaikan amanah-amanah (ﺘﺆﺪﻮﺍ)secara sempurna dan tepat waktu, kepada pemilinya yakni yang berhak menerimanya(ﺇﻠﻰׂﺃﻫﻠﻬﺍ).
baik amanah dari Allah maupun dari manusia. berapa banyakpun yang diserahkan kepada kamu apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, baik yang berselisih dengan manusia ataupun tanpa perselisihan. maka supaya kamu harus menetapkan keputusan dengan adil sesuai denangan yang di ajarkan oleh Allah tidak menutupi kebenaran, tidak memberi sangsi kecuali sesuai prosedur yang berlaku
sesungguhnya Allah telah memerintahkan memenuhi amanah dan menetapkan hukum dengan adil. member pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. karena itu, berupayalah sekuat tenaga untuk melaksanakannya dan ketahuilah bahwa ia menentukan kedua hal ini dan mengawasi mu, dalam ruang yang tidak terbatas, karena ia maha Mendengar dan maha Mengetahui.

c. konsep adil dalam ayat ini.
Kata adil yang dimaksud ayat disini adalah tidak berat sebelah jikapun harus memihak maka berpihaklah kepada kebenaran dan mensalahkan apa yang seharusnya salah, jika dianalogikan berbuatan diatas termasuk dari penerapan ayat (ﺘﺃﺪﻮﺍׂﺍﻟﺃﻤﺍﻨﺔ) penyampaian Amanat kepada orang yang berhak menerimanya secara sempurna. Dan kata (ﺑﺎﻠﻌﺪﻞ) dalam ayat tersebut berbentuk masdar yang berarti sifat, setiap orang bisa bersifat demikian, tidak perlu seorang Hakim, ataupun orang tertentu.
Kondisi seperti ini banyak kita kemukan dalam pengadialan-pengadilan di negri kita, karena posisi pengadilan pada masa sekarang adalah suatu tempat dimana diselesaikannya suatu perkara secara syah dan telah dapat akuan dari berbagai pihak, maka seorang Hakim (orang yang mengadili) tentu harus bersifat adil, karena kedudukannya dalam hal ini menempati posisi terpenting dalam memilih keputusan, maka sifat adil pada dirinya harus tertanam secara baik.

Surat al Maaidah ayat 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
a. Kosa kata
1. (ﻗﻮﻤﻴﻦ) Qawwamiin yang artinya yan bersungguh-sungguh berdiri menjadi saksi
2. (ﺍﻠﻗﺴﻂ) Al-Qisth yang bermakana pelaksana yang sempurna terhadap tugas-tugasnya
3. (ﺍﻠﻌﺩﻞ) Al Adl yang artinya sikap yang sifat adil yang diajarkan islam kepada umat manusia.
b. Tafsir ayat
dalam ayat ini ( al-maidah: 8) didahulukannya Al-Qisth dari Al-Adl karna ingin mengingatkan perjanjian dengan Allah dan rosul.
pentingnya melakasanakan secara sempurna seluruh perjanjian itulah kandungan qowwamun. Dan sesungguhnya Adil itu adalah wujud dari takwa, yang membawakan dampak yang harmonis dalam kehidupan jika kita menjalankannya.
c. Perbedaan Al Adlu dan Al Qisth
Ada dua kalimat yang berarti agak mirip (sinonim), Al Qisth dan Al Adl, yang mana keduanya mempunyai arti yang sama, yaitu Adil, namun esensi dari pemakaiannya dalam al Qur’an terasa berbeda antara dua kalimat tersebut,
Lantas apa yang membedakan Al-qisth dengan Al 'adl? Imam Ghazali saat menerangkan sifat Allah al Muqsith (dalam bukunya Asma' al Husna), mengatakan bahwa al Muqsith adalah yang memenangkan atau membela yang teraniaya dari yang menganiaya dengan menjadikan yang teraniaya dan menganiaya sama-sama rela, sama-sama puas dan senang dengan hasil yang diperoleh. Jika demikian,
Al-Qisth tidak hanya sekedar adil, karena ada keadilan yang tidak menyenangkan salah satu pihak, misalnya apa yang kita lihat di pengadilan, yang teraniaya mendapat keadilan dengan dijatuhkannya sangsi terhadap orang yang menganiaya, sedangkan yang menganiaya mendapat sesusahan (karena dipenjara misalnya).
Allah berfirman untuk menjadi saksi dan memerintahkan untuk menegakkannya bil Qisth, bukan bil Adl. Allah berfirman: " Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(al maidah: 5) persaksian harus menyenangkan semua pihak, antara yang bersangkutan, maupun pihak yang lain mendapatkan dengan rela.
Diantara perjanjian Allah dengan umat Islam ialah untuk menegakan keadilan pada manusia. Yakni, keadilan mutlak yang neracana tidak pernah miring karena benci ataupun cinta, kedeketan hubungan, kepentingan atau hawa nafsu, dan kondisi apapun. Keadilan yang bersumber dari pelaksanaan ketaatan kepada Allah yang bebas dari segala pengaruh, dan bersumber dari perasaan dan kesadaran terhadap pengawasan Allah yang mengetahui segala yang tersembunyi dalam hati.

d. Konsep adil dalam ayat ini
Ayat diatas ditunjukan agar jangan sampai kebencian mereka (umat muslim) kepada orang-orang yang telah menghalang-halangi mereka masuk ke Masjidil Haram itu menjadikan mereka melakukan pelanggaran dan tindakan melampaui batas terhadap musuh mereka. Ini merupakan suatu puncak ketinggian di dalam mengendalikan jiwa dan bertoleransi, yang Allah mengangkat mereka ke puncak itu dengan manhaj tarbiyah Rabbaniyyah yang lurus.
Memang ketika itu kondisi umat islam tertindas dengan tidak di perbolehkannya memasuki masjidil haram, tetapi Allah menyerukan kepada umat muslim ketika itu untuk tetap memberikan toleransi dengan berlaku adil kepada siapapun tanpa terkecuali. Jika kita lihat sepintas sepertinya tidak ada penanggulangan apapun dari pihak islam, tetapi sebenarnya Allah memberikan suatu solusi yang sangat jitu, yaitu berlaku adil, karena adil menjadikan kita selalu bertaqwa dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan menjauhi segala apa yang dilarangnya, pandangan non muslimpun akan berubah dengan sendirinya ketika kita benar-benar menerapakan ini.
Peringatan agar rasa kebencian mereka kepada orang lain jangan sampai menjadikan mereka berpaling dari keadilan. Ini merupakan puncak yang sangat tinggi dan sangat sulit bagi jiwa. Ini merupakan tahapan dibalik pengendalian diri untuk tidak melakukan pelanggaran dan supaya tabah mengekangnya. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan menegakan keadilan meskipun didalam hati terdapan perasaan benci dan tidak suka kepada yang bersangkutan.
Ayat ini juga menerangkan tentang sifat pemimpin islami yang ideal, dan menganjurkan kepada orang-orang yang beriman, jika diberi amanat untuk memimpin agar memimpin secara adil supaya terciptanya keseimbangan antara hubungan sesama manusia, karena ketika keseimbangan (keadilan) tercipta, maka terpeliharalah keharmonisan tatanan masyarakat baik lingkup kecil maupun besar, dengan cara selalu berlomba lomba kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan maupun seluruh faktor yang menjurus kepada keburukan, karena keburukan bertentangan dengan dhamir, secara tidak langsung kita berlaku tidak adil (dhalim) terhadap diri sendiri, bagaimana bisa menciptakan keseimbangan jika terhadap diri sendiri saja tidak adil, maka fungsi tatanan kemasyarakat pun akan rusak.
Menurut para ulama hadits keadilan adalah jauhnya diri mereka dari bohong dalam periwayatan dan penyimpangan dengan melakukan sesuatu yang mengharuskan tidak diterimanya riwayat tersebut.







Surat al An’am ayat 152:
                                        

artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu)[1], dan penuhilah janji Allah[2]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

[1] maksudnya mengatakan yang Sebenarnya meskipun merugikan kerabat sendiri.
[2] maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya.
(ﺍﻠﻴﺘﻴﻢ) Anak yatim adalah individu yang lemah karena ia kehilangan orangtuanya yang menjaga dan mendidiknya. Sehingga kelemahannya itu menjadi tanggung jawab masyarakat muslim berdasarkan solidaritas oleh islam sebagai pondasi sistem sosialnya. Sementaa anak yatim adalah individu yang tak terurus dan disi-siakan dalam masyarakat jahiliyyah, banyaknya arahan dalam al Quran juga keragaman dan kadang-kadang ketegasannya, menyiratkan kondisi yang terjadi pada masyarakat itu, berupa disa-siakannya anak yatim, sehingga Allah mengutus anak yatim yang mulia (Muhammad) sebagai utusannNYA dalam masyarakat itu, kemudian dia memberinya tugas yang paling mulia di dunia ini. Yaitu ketika dia memberinya tugas menyampaikan risalah islam kepada seluruh umat Manusia, dan menjadikan salah satu ajaran agama ini, yang dibawa olhnya itu, adalah memelihara anak yatim dan menjaminnya kepada bentuk yapat kita lihat dalam arahan ini.
Maka orang yang mengurus anak yatim, hendaknya tidak mendekati harta anakyatim itu kecuali dengan cara yang terbaik bagi anak yatim itu. Juga hendaknya ia menjaga dan mengembangkannya, sehingga pada saatnya kelak ia dapat menyerahkan harta itu secara penuh setelah berkembang banyak. Yaitu ketika anak tersebut telah mencapai kematangannya, baik dalam kekuatan fisiknya maupun akalnya, sehingga ia dapat menjaga hartanya dan memegangnya dengan baik. Dengan itu jamaah telah menambah satu anggota baru yang dapat memberikan manfaat. Ini adalah masalah perdagangan antar manusia, dalam batas-batas kemampuan berusaha dan bersikap adil, redaksi ini mengaitkannya dengan aqidah. Karena muamalah dengan agama ini berkaitan erat dengan akidah yang member wasiat dan memerintahkan hal itu adalah Allah, dari sini ia berkaitan dengan masalalah Uluhiyyah dan Ubudiyyah, disebutkan dalam penjelasan ini yang menampilkan masalah aqidah dan hubungannya dengan seluruh segi kehidupan.
kejahiliyyahan kejahiliyyahan seperti saat ini memisahkan antara aqidah dan ibadah, serta antara syariat dan muamalah, diantaranya adalah apa yang diceritakannya oleh al Quran tentang kaum nabi Syuaib,
di sini islam mengangkat hati (Dhamir) manusia yang sebelumnya telah Allah kaitkan denganNYA ketingkatan yang menjulang tinggi berdasarkan petunjuk dari aqidah tentang Allah dan muraqabbahnya. Disini terletak salah satu kemungkinan terpelesetnya manusia karena kelemahan yang menjadi kekuatan perasaan kekerabatan seseorang mendorongnya untuk saling tolong, saling melengkapi dan saling sambung menyambung. Karena ia sosok yang lemah dan terbatas usianya. Maka, kekuatan kekerabatan merupakan sandaran bagi kelemahannya, keluasaan keberadaan kekerabatan itu menjadi pelengkap keberadaannya, dan saling sambung menyambung antara satu geenerasi dengan generasi lain, menjadi jaminan keberlangsungan keturunannya.

III. Penutup
‘Adl/Al-‘Adl (عَدْل) merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengan¬dung arti ‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Oleh sebab itu, manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (عَدْل) ini setelah meyakini keadilan Allah dituntut untuk me¬negak¬kan ke¬adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan per¬tama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri.
Adapun hubungannya adil dengan amanat sangatlah terkait erat. Karna keadilan tergantung dengan amanat. Adil tidak akan bisa jalan apabila amanat itu tidak ada.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Muhammad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Daar al-Fikr, t.th
Al-Thabary, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir al-Thabary, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.
Tengku Muhammad Ah Shiddieqy, Al Bayan, Tafsir Penjelas Al Qur’an Karim, Juz 15, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, Jilid 4, 2002
Shihab, Muhammad Quraisyi, Tafsir Al-Misbah, Volume 3, Lentera Hati, 2002
Shihab, Muhammad Quraisyi, Wawasan al-Qur’an (tafsir maudhu’i atas berbagai persoalan umat), Bandung: Mizan, t.th

kitab Futuhat Al Makkiyyah karya Ibnu 'Arabi

Kitab Futuhat Al Makkiyyah
oleh :win asep ari gayo
1. Pendahulan
Islam adalah agama yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Agama Islam adalah agama yang Universal dapat diterima diberbagai kalangan dan golongan dan segala zaman, Rahmatan lil ’alamien.
Proses penyebaran Islam berlangsung cukup lama dan panjang, melewati berbagai cobaan dan fase, melewati berbagai cara, sehingga penyebarannyapun merambah keberbagai daerah bahkan berbagai negara dan benua dengan nuansa yang berbeda. Sehingga Islam pun hadir secara hangat ke tengah Masyarakat, begitu pula dengan Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum yang pertama dalam Islam, Dari sinilah mulai bermunculan Pemikir pemikir Muslim dengan keahlian yang berbeda-beda, baik dari segi Hadits maupun Tafsir sejak dahulu para ulama-ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahaman yang berbeda-beda sehingga menambaah Khazanah keilmuan Islam, seperti halnya Ibnu Al Arabi dari Andalusia yang menganut pemahaman Sufi.
2. Pembahasan
A. Biografi
Pada tahun 560 H, di spanyol ketika itu sedang populernya Madzhab Sufi, yaitu nama yang dipakai oleh penganut-penganut yang berpaham Tasawuf, sedangkan Tasawuf sendiri adalah ilmuu untuk mengetahui bagaimana cara munsucikan jiwa, menjernihkan Akhlak, membangun zhahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi dengan cara zuhud (menjauhi hal-hal yang bersifat Duniawi).
Maka lahirlah Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad ibnu Al-‘arabi al Tai al Hatimi di kota Mursia, Spanyol baian tenggara, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Ibnu Arabi. Beliau adalah penganut sufi yang terkenal pada masanya Pada umur delapan tahun ia memulai pendidikan formalnya, dikota pusat ilmu pengetahuan, dibawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal ia mempelajari Al Qur’an dan tafsirannya, hadits fiqh, Teologi dan filsafat skolastik, beliau sangat antusias, sehingga mendapatkan kedudukan yang diberhitungkan oleh Umat maupun kalangan Sufi, sehingga beliau mendapatkan gelar Muhyi ad-Din (penghidup agama). Ketika ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di kota Seville, beliau menikahi seorang wanita muda yang shalehah, namanya adalah Maryam, suasana guru-guru Sufi dan kesertaan istrinya dalam keinginannya mengikuti jalan Sufi menjadai faktor yang kondusif yang mempercepat pembentukan diari Ibnu ‘Arabi menjadi seorang Sufi. Ia memngikuti jalan Sufi (Tarekat ) formal dapa 580 H/1184 M.
Pada usia tiga puluh tahun menurut perhitungan tahun Lunar atau dua puluh delapan menurut tahun Solar, pada tahun 590 H/1193M, untuk pertama kalinya beliau mengadakan perjalanan perjalanan menuju semenanjung siberia, pada tahun ia ia pergi ke Tunis dan disana ia berguru pada ibnu Qassi, (pemimpin Sufi yang melakukan pemberontakan terhdap Dinasti al nurobitin di Algarve, keberangkatan beliau ke sana mengakhiri fase pertama kehidupannya yang merupakan fase persiapan menjadi seorang Sufi. Lalu ia melakukan perjalanan menuju Makkah dan memulai kehidupannya di kota itu, selama menetap di Makkah, beliau menggunakan banyak waktunya untuk mengkaji dan menulis, pada masa itu ia mulai menulis karya ensikopedi momentaknya yang ia beri judul Futuhat-al-Makkiyyah, lalu ia perdi ke damaskus dan memilih kota itu sebagai tempat menetap hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada 22Rabi’u-tsani 638 H yang bertepatan dengan November 1240 M di Damaskus, ia dimakamkan di sahilyyah, di kaki bukit Qasiyun di bagian utara kota Damaskus, yang mana tempat ini sering dikunjungi oleh umat muslim dikarnakan disucikan semua Nabi
Dan diantara karangan beliau yang paling Mashur adalah buku Futuhat-al-Makkiyyah.

B. Latar belakang penulisan buku
diantara para pemikir Islam pada masa itu, Ibnu ‘Arabi termasuk orang yang produktif dalam menulis, karya-karya beliau sangat beragam ukuran dan isi, dari uraian-uraian pendek sampai surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa halaman, risalah-risalah metafisik yang abstrak sampai puisi-puisi Sufi yang mengandung aspek kesadaran Ma’rifah, salah satu karyanya yang paling penting adalah Buku Futuhat Al Makkiyyah fii Ma’rifati al Asror al-Malkiyyah wa al-Mulkiyyah, yang disusun di Makkah tahun 598 H, selesai di Damaskus Tahun 629 H. terdiri dari 560 Bab yang terbagi menjadi delapan juz, dari Penerbit Dar el Fikr, Libanon. didalamnya terdapat urain-uraian tentang prinsip-prinsip metafisika dan berbagai ilmu lainnya.
Beliau sangat dikenal dengan konsep wihdatul wujud,adapun salah satu yang melatar belakangi penulisan buku ini adalah tentang wihdatul wujudnya, keberadaan Makhluk tergantung kepada Tuhan, atau berasal dari hasil penampakan wujud Ilahiyyah, dan manusia adalah penampakan wujud diri Tuhan yang paling sempurna menurutnya, inilah yang mendominasi beliau terhadap Buku Futuhat al-Makkiyyah .
C. Sistematika Penulisan Kitab
Kitab Futuhat al Makkiyyah mempunyai perbedaan dalam tafsirannya dengan Kitab-Kitab tafsir lainnya, begitupun dengan sistematika penulisannya.
Adapun langkah-langkah beliau yang dipakai dalam Kitab ini adalah sebagai berikut:
1. beliau menentukan Tafsirannya pertema, dan ayat-ayat yang ditafsirkannya sesuai tema yang bersangkutan, misalnya pada bab 5, kitab Futuhat al Makkiyyah beliau cantumkan tema Al-Fatihah, dengan judul: mengetahui Rahasia-rahasia tentang kalimat بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ dan Al Fatihah.
2. langkah selanjutnya sebelum memasuki spesifikasi penafsiran, beliau memberikan gambaran umum tentang apa saja yang bersangkutan penafsiran tersebut dalam bab yang sama beliau mencantumkan syair yang menyangkut tentang surat tersebut.
3. lalu beliau memasuki penafsiran dengan cara:
pemenggalan per ayat, بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
lalu beliau memenggal ayat tersebut menjadi perkata, menjadi
ﺒﺴﻢ /ﺍﻟﻟﻪ /ﺍﻟﺭﺤﻤﻦ /ﺍﻟﺭﺤﻴﻢ /
Dari perkata, kemudian beliau uraikan penjabarannya dan penafsirannya menjadi perhuruf, seperti:
بِسْمِ menjadi ﺐ /ﺱ /ﻡ /.
dari susunan huruf tersebut beliau menafsirkan secara panjang lebar tentang rahasia-rahasia susunan huruf yang terangkai menjadi satu kata dan juga makna bathinnya pun beliau cantumkan dalam tafsirannya. maka Beliau berpendapat bahwa susunan kalimat yang terdiri dari beberapa kata yang mana susunan tersebut mempunyai makna bathiniyah tersendiri, begitupun dengan susunan kata yang terdiri dari beberapa huruf, yang mana tiap susunan hurup mempunyai arti tersendiri sehingga menjadi kata, seperti contoh kata Ar-rahman(الرَّحْمَنِ), beliau menafsirkan menjadi dua segi Dzat dan Sifat, tergantung seseorang mengi’rabkannya, jika orang tersebut mengi’rabkan sebagai badal maka kata Ar Rahman(الرَّحْمَنِ) menjadi Dzat, tetapi jika di I’rabkan sebagai na’tan, maka menjadi Sifat, menurut beliau huruf Alif (ﺍ), lam(ﻞ), Ra’ (ﺭ), dartikan sebagai alam, kehendak, dan kekuaatan yang dikembalikan kepada Allah, sedangkan ha(ﺡ), mim(ﻡ) dan nun(ﻥ)diartikan sebagai pembuktian Kalam, maha mendengar dan maha melihat .

D. Metode, Bentuk dan Corak Penafsiran
Kitab Futuhat Makkiyyah karya Ibnu al Arabi termasuk salah satu buku Tafsir Sufi yang berbentuk Isyari, karena didalamnya terdapat pentakwilan ayat-ayat Al Qur’an dengan pentakwilan yang menyalahi ketentuan-ketentuan Dzahir ayat, dan mengemukakan isyarat-isyarat yang tersembunyi yang Nampak oleh beliau.
metode yang beliau susun dalam buku Futuhat Makkiyyah adalah metode Tahlili(Analitis), karena beliau menafsirkan kandungan surat-surat al Qur’an dari pertama hingga akhir surat, meski yang beliau keluarkan didominasi oleh kandungan bathiniyyah.
maka bentuk Penafsiran beliau adalah Ar Ra’y, terlihat dari penafsiran dalam Kitabnya yang beliau tafsirkan menurut keyakinannya dan pemahaman beliau terhadap ayat-ayat al-Quran, yang beliau tetapkan berdasarkan Riyadhah Ruhaniyyah yang beliau tetapkan bagi dirinya.
seperti dalam surat Maryam, ayat 57:
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”
Beliau berpendapat : Tempat yang tinggi adalah tempat beredarnya Ruh alam Falak-falak(benda-benda langit) yaitu falak Matahari, disitulah (Makam) kedudukan Ruhani Nabi Idris AS, dibawahnya terdapat tujuh Falak, dan diatasnya juga terdapat Tujuh Falak, jadi tempat itu adalah tempat yang kelima belas, lalu setelah itu beliau terangkan tentang uraian falak-falak yang dibawah dan diatasnya itu, beliau berkata : tempat yang tinggi itu untuk kita (para pengikut Nabi Muhammad SAW), sebagai mana yang telah dijelaskan dalam surat Muhammad, ayat 35, yaitu:
وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ……
“……kalian adalah orang-orang yang paling tinggi dan Allah selalu bersama kalian……..”
jadi ketinggisngg yang dimsksudkan beliau adalah ketinggian tempat, bukan ketinggian kedudukan.
memang bila kita teliti terdapat riwayat-riwayat dalam penafsiran beliau, tetapi riwayat-riwayat yang ada bersangkutan dengan penafsiran dan pendapat beliau sengingga periwayatan tersebut adalah untuk mengkokohkan dan melandasi penafsiran beliau sesuai pemahaman beliau mengenai Ayat tersebut.
Corak Penafsiran yang terlihat pada Kitab Futuhat al Makkiyyah adalah Corak Khusus, karena Ibnu al Arabi adalah seorang Ufi sekaligus menjadi Guru besar di kalangan Sufi, ruang lingkup yang ia kondisikan bernafaskan Sufi, maka Kitabnya pun yang beliau susun mengikuti konsef pemikiran beliau, yaitu Sufi yang mengkedepankan konsep wihdatul wujud .

3. penutup
Bahwa Tafsir adalah suatau upaya mencurahkanpemikiran untuk memahami, memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat diaplikasikan, atas dasar itulah maka diakui peranan Tafsir sangatlah penting dan besar dalam menjelaskan kandungan makna dalam Ayat Al-Quran yang sebagian besar masih bersifat Global dan punya makna yang samar. Kitab Futuhat Makkiyyah karya Ibnu al Arabi adalah salah satu dari sekian banyak prodak yang dihasilkan oleh para pemikir-pemikir Muslim yang telah mengorbankan banyak waktunya, mengalihkan kehidupannya dan mengkonsentrasikan pemikirannya terhadap karya tersebut, sehingga Kitab-kitab Tafsir dengan mudah di konsumsi oleh Masyarakat, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terciptanya Nuansa kehidupan yang Islami dan Harmonis, karena salah satu dasarnya penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an berorientasikan kepada kepentingan Humanisme dan keadilan bahkan kepada sesuatu yang bersifat positip.




Daftar pustaka
Dr, Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al Qur’an perkenalan dengan Metodologi Tafsir, Penerbit Pustaka, Cet I, Bandung, 1987.
Prof, Dr, Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet I, 2005.
Prof, Dr, Abdul Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, Penerbit Teras, Sleman, Cet I,2005.
Ibnu al ‘Arabi, Relung Cahaya, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet I, 1988.
Ibnu Muhammad al Ma’ruf bin Ibnu al Arabi, Futuhat Al Makkiyyah, Daar el Fikr, Beirut-Libanon, 1994.