Selasa, 25 Mei 2010

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ADIL
I. Pendahuluan
Kata ‘adl adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) . Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf ‘ain (عَيْن), dâl (دَال), dan lâm (لاَم), yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ (اَلْاِسْتِوَاء = keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (اَلْاِعْوِجَاج = keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang ber¬tolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem¬peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "adil" diartikan: (1) tidak beratsebelah/tidak memihak, (2)berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
Pada makalah ini akan membahas konsep adil di dalam al-Qur’an, hubungan adil dengan amanat, dan pendapat ‘ulama tentang adil.
II. Pembahasan
A. Hubungan Adil dan Amanat
Amanat yaitu: segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia dan diperintahkan untuk dikerjakan. Dalam ayat ini Allah memerintahkan hambanya untuk menyampaikan amanat secara sempurna, utuh tanpa mengulur-ulur atau menunda-nundanya kepada yang berhak. Amanat itu mencakup perwalian, harta benda, rahasia, dan perintah yang hanya diketahui oleh Allah.
Dalam hubungannya adil dengan amanat sangatlah terkait erat. Karna keadilan tergantung dengan amanat. Adil tidak akan bisa jalan apabila amanat itu tidak ada. Seperti firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 58 berikut ini:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Macam-macam Amanat
Pertama: amanat hamba dengan Rabb-nya, yaitu apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya untuk dipelihara, berupa melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan mendekatkannya kepada Rabb.
Kedua: amanat hamba dengan sesama manusia, diantaranya adalah mengembalikan titipan kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia dan lain sebagainya yang wajib dilakukan terhadap keluarga, kaum kerabat, manusia pada umumnya dan pemerintah.
Ketiga: amanat manusia terhadap dirinya sendiri, seperti memilih yang paling pantas dan bermanfaat baginya dalam masalah agama dan dunia.
Allah berfirman: “Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan hukum dengan adil”, mencakup menetapkan hukum dalam masalah pertumpahan darah, harta, dan kehormatan. Baik sedikit atau banyak, terhadap karib kerabat atau orang lain (yang tidak memiliki hubungan kerabat), orang yang fasik atau orang yang saleh dan musuh sekalipun. Allah berfirman: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al Maidah:8). Maksud “Adil” di sini adalah, memberikan sanksi-sanksi dan hukuman sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah melalui rasul-Nya.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, Yang demikian ini adalah pujian Allah atas perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, yang mencakup maslahat dunia dan akhirat menghindarkan mereka dari berbagai macam mudarat kepadanya. Karena (perintah dan larangan tersebut) berasal dari yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Yang Maha Mengetahui kemaslahatan hamba-hambanya yang tidak mereka ketahui.

B. Adil dan al Qist
Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Seperti firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 8 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Penafsiran kata-kata sulit:
شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ : saksi-saksi yang menunaikan kesaksian dengan adil, tidak berat sebelah.
لاَ يَجْرِمَنَّكُم : janganlah (sesuatu) mendorong kamu
الشَنَانُ : permusuhan dan kebencian
خَبِيرٌ : yang mengetahui secara mendetail dan tepat
Keterangan dan kandungan ayat:
Ada dua kalimat yang berarti agak mirip al Qisth dan al Adl, yang mana keduanya mempunyai arti yang sama, yaitu Adil, namun esensi dari pemakaiannya dalam al Qur’an terasa berbeda antara dua kalimat tersebut, Lantas apa yang membedakan al-qisth dengan al 'adl? Imam Ghazali saat menerangkan sifat Allah al Muqsith (dalam bukunya Asma' al Husna), mengatakan bahwa al Muqsith adalah yang memenangkan atau membela yang teraniaya dari yang menganiaya dengan menjadikan yang teraniaya dan menganiaya sama-sama rela, sama-sama puas dan senang dengan hasil yang diperoleh.
Jika demikian, al-qisth tidak hanya sekedar adil, karena ada keadilan yang tidak menyenangkan salah satu pihak, misalnya apa yang kita lihat di pengadilan, yang teraniaya mendapat keadilan dengan dijatuhkannya sangsi terhadap orang yang menganiaya, sedangkan yang menganiaya mendapat sesusahan (karena dipenjara misalnya). al Qisth adalah adil tetapi sekaligus menjadikan kedua belah pihak, atau semua pihak, mendapatkan sesuatu yang menyenangkan.
Allah berfirman untuk menjadi saksi dan memerintahkan untuk menegakkannya bil qisth, bukan bil adl. Allah berfirman: " Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(al maidah 5) persaksian harus menyenangkan semua pihak, antara yang bersangkutan, maupun pihak yang lain mendapatkan dengan rela.
Tafsir ayat
Diantara perjanjian Allah dengan umat Islam ialah untuk menegakan keadilan pada manusia. Yakni, keadilan mutlak yang neracana tidak pernah miring karena benci ataupun cinta, kedeketan hubungan, kepentingan atau hawa nafsu, dan kondisi apapun. Keadilan yang bersumber dari pelaksanaan ketaatan kepada Allah yang bebas dari segala pengaruh, dan bersumber dari perasaan dan kesadaran terhadap pengawasan Allah yang mengetahui segala yang tersembunyi dalam hati
(ayat)
Ayat diatas ditunjukan agar jangan sampai kebencian mereka kepada orang-orang yang telah menghalang-halangi mereka masuk ke Masjidil Haram itu menjadikan mereka melakukan pelanggaran dan tindakan melampaui batas terhadap musuh mereka. Ini merupakan suatu puncak ketinggian di dalam mengendalikan jiwa dan bertoleransi, yang Allah mengangkat mereka ke puncak itu dengan manhaj tarbiyah Rabbaniyyah yang lurus.
Memang ketika itu kondisi umat islam tertindas dengan tidak di perbolehkannya memasuki masjidil haram, tetapi Allah menyerukan kepada umat muslim ketika itu untuk tetap berlaku adil kepada siapapun tanpa terkecuali. Jika kita lihat sepintas sepertinya tidak ada penanggulangan apapun dari pihak islam padahal Allah memberikan suatu solusi yang sangat jitu, yaitu berlaku adil, karena adil menjadikan kita selalu bertaqwa dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan menjauhi segala apa yang dilarangnya, pandangan non muslimpun akan berubah dengan sendirinya ketika kita benar-benar menerapakan ini.
peringatan agar rasa kebencian mereka kepada orang lain jangan sampai menjadikan mereka berpaling dari keadilan. Ini merupakan puncak yang sangat tinggi dan sangat sulit bagi jiwa. Ini merupakan tahapan dibalik pengendalian diri untuk tidak melakukan pelanggaran dan supaya tabah mengekangnya. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan menegakan keadilan meskipun didalam hati terdapan perasaan benci dan tidak suka kepada yang bersangkutan.
Ayat ini juga menerangkan tentang sifat pemimpin islam yang ideal, dan menganjurkan kepada orang-orang yang beriman, jika diberi amanat untuk memimpin agar memimpin secara adil supaya terciptanya keseimbangan antara hubungan sesama manusia, karena ketika keseimbangan (keadilan) tercipta, maka terpeliharalah keharmonisan tatanan masyarakat baik lingkup kecil maupun besar, dengan cara selalu berlomba lomba kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan maupun seluruh faktor yang menjurus kepada keburukan, karena keburukan bertentangan dengan dhamir, secara tidak langsung kita berlaku tidak adil (dhalim) terhadap diri sendiri, bagaimana bisa menciptakan keseimbangan jika terhadap diri sendiri saja tidak adil, maka fungsi

C. Adil dalam arti "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya".
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ (وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْكَانَ ذَاقُرْبَى = Dan apabila kamu berkata maka hendak¬lah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu). Pengertian ‘adl seperti ini me¬lahirkan keadilan sosial.

D. Konsep Adil dalam Al-Qur’an
Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M. Quraish Shihab, bahwa ada empat makna keadilan, yaitu:
Pertama, adil dalam arti "sama". Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada QS. An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak.
Kedua, adil dalam arti "seimbang". Pengertian ini ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. Al-Infithâr [82]: 7.
Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya".
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. ‘Adl di sini berarti ‘me¬me¬lihara kewajaran atas ber¬lanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke¬mungkin¬an untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengan¬dung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. Al ‘Imrân [3]: 18, yang menunjukkan Allah swt. sebagai Qâ’iman bi al-qisth (قَائِمًا بِِالْقِِسْط = Yang menegakkan ke¬adilan).

E. Konsep Adil menurut Muhadits dan Hakim
Menurut para ulama hadits keadilan adalah jauhnya diri mereka dari bohong dalam periwayatan dan penyimpangan dengan melakukan sesuatu yang mengharuskan tidak diterimanya riwayat tersebut.
Al-Ghazali dalam kitab al-Musthafa memberi definisi keadilan dalam riwayat dan pensaksian sebagai suatu ungkapan mengenai konsisten perjalanan hidup dalam agama, hasilnya merujuk kepada suatu keadaan yang mantap dalam jiwa yang menjamin melakukan taqwa dan mu’ruah (sikap jiwa) sehingga mencapai kepercayaan jiwa yang dibenarkan, maka tidak ada kepercayaan atas perkataan bagi orang yang takut Allah dari kebohongan. Jadi maksud keadilan di sini adalah penerimaan riwayat tanpa dibebani pencarian sebab-sebab adil dan kesucian diri.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Yang dimaksud dgn adil ialah orang yg mempunyai sifat ketaqwaan dan muru’ah”.
Kriteria ‘adil menurut ahli hadits adalah orang yang muslim, merdeka, tidak melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Imam Syafii ditanya, “siapakah ‘adil itu?”, beliau menjawab, “Tidak ada orang yang selamat sama sekali dari maksiat, namun jika seseorang tidak melakukan dosa besar dan kebanyakan amalnya baik maka dia ‘adil.
Sedangkan definisi keadilan menurut seorang hakim adalah hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan, “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih dan memberikan haknya kepada yang berhak menerimanya.
Menurut seorang hakim, adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam memberikan hukum, sering diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan dalam memberikan hak orang lain, tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi.
Seperti yang dijelaskan Al Qur'an dalam surah Ar Rahman ayat 7-9 yaitu:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ () أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ () وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
"DanAllah telah meninggikan langit-langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan dengan adil dan janganlah kamumengurangi neraca itu".

F. Keadilan dalam ajaran Islam
Sikap adil dalam syariah Islam dapat kita lihat dalam setiap sendi ajarannya, baik secara teoritis maupun aplikatif, tarbawiy (pendidikan) maupun tasyri'iy (peraturan). Islam sangat moderat dalam bidang akidah, pemahaman, ibadah, ritual, akhlaq, adab, hukum dan peraturan.
Islam mewajibkan ummatnya berlaku adil dalam semua urusan. Al Qur'an mendistribusikan kewajiban sikap adil dalam beberapa hal seperti :
1. Menetapkan Hukum
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." QS.4:58
2. Memberikan hak orang lain
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebajikan.." QS. 16:90
3. Adil dalam berbicara
"Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabatmu."QS. 6:152
4. Adil dalam kesaksian
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatnu. QS. 4:135
5. Adil dalam pencatatan hutang piutang
"Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.."QS 2:282
6. Adil dalam Mendamaikan perselisihan
".maka damaikan antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.."QS. 49:9
7. Adil dalam menghadapi orang yang tidak disukai
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu pada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.QS. 5:8
8. Adil dalam pemberian balasan
".dan barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu”. QS. 5:95

III. Penutup
‘Adl/Al-‘Adl (عَدْل) merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengan¬dung arti ‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Oleh sebab itu, manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (عَدْل) ini setelah meyakini keadilan Allah dituntut untuk me¬negak¬kan ke¬adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan per¬tama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri.
Adapun hubungannya adil dengan amanat sangatlah terkait erat. Karna keadilan tergantung dengan amanat. Adil tidak akan bisa jalan apabila amanat itu tidak ada.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Muhammad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Daar al-Fikr, t.th
Al-Thabary, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Tafsir al-Thabary, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992
Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, Damasyiq: Dar al-Fikr, 1966
Hajar, Al-Hafizh Ibnu, Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar 9, Maktabat Thayibah, 1404 H
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, Jilid 4, 2002
Shihab, Muhammad Quraisyi, Tafsir Al-Misbah, Volume 3, Lentera Hati, 2002
Shihab, Muhammad Quraisyi, Wawasan al-Qur’an (tafsir maudhu’i atas berbagai persoalan umat), Bandung: Mizan, t.th