Jumat, 26 Juni 2009

HADITS RIWAYAH
DILIHAT DARI BIL-LAFDZI DAN BIL-MA’NA
I. PENDAHULUAN
Sebagai sumber pokok ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, hadits mempunyai peran dan fungsi menentukan dalam kehidupan umat Islam. Kehadiran hadits dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam Al-Qur’an tidak didapatkan penjelasan yang rinci dalam suatu persoalan. Hadits yang menjadi penjelas atau bayan Al-Qur’an sangatlah dibutuhkan dalam memahami tektual Al-Qur’an. Makanya eksistensi hadits –dengan tidak menafikan derajat hadits– seiring dengan sumber pokok Islam tersebut.
Mengenai kedudukan Hadits dalam tertib hukum Islam, As-Suyuti dan Al-Qasimi berkomentar secara rasional dan tekstual sebagai berikut:
1. Al-Qur’an bersifat قطعى الورود (Qath’il wurud), sedang hadits bersifat ظنى الورود (Zhannil wurud). Karenanya yang قطعى (qath’i) harus didahulukan daripada yang ظنّى (Zhanni).
2. Hadits berfungsi sebagai penjabaran Al-Qur’an. Hal ini berarti kedudukan yang menjelaskan setingkat dibawah yang menjelaskan.
3. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan bahwa hadits kedudukannya setelah Al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat pada dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabal. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Mu’adz menjawab: “Dengan kitab Allah.” Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunah Rasulullah…..”
4. Kalau Al-Qur’an sebagai wahyu dan berasal dari sang Pencipta, maka hadits berasal dari hamba dan utusanNya. Karenanya sudah selayaknya jika yang berasal dari sang Pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba utusanNya.
Kehadiran hadits sebagai sumber pokok ajaran islam, memang banyak dipersoalkan, hal ini berkaitan dengan matan, perawi, sanad dan lainnya, yang kesemuanya menjadi boleh atau tidaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Terlepas dari itu, perbedaan sahabat dalam memahami hadits pun menjadi hal yang penting untuk ditelaah lebih lanjut, karena perbedaan pemahaman tersebut mengakibatkan periwayatan pun menjadi berbeda. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab suatu hadits diperselisihkan oleh para ulama tentang kehujjahannya. Perbedaan pemahaman hadits yang dilakukan para sahabat antara tekstual dengan kontekstual melahirkan apa yang disebut dengan “Hadits Riwayah Bil-lafdzi” dan “Hadits Riwayah Bil-ma’na.”
II. PEMBAHASAN
A. HADITS RIWAYAH BIL-LAFDZI
Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut:
1. سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya mendengar Rasulullah saw)
Contonya:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول:
إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
2. حدّثنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Menceritakan kepadaku Rasulullah saw)
Contohnya:
حَدَّتَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِبْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang telah lalu.”
3. أخبرنى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)
4. رأيت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم (Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Contohnya:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول
إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.
B. HADITS RIWAYAH BIL-MA’NA
Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Adapun contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut:
جَائَتْ اِمْرَأَةٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَرَادَ اَنْ تَهِبَ نَفْسَهَالَهُ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ فَقاَلَ:
يَارَسُوْلَ اللهِ اَنْكِحْنِيْهَا وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ غَيْرَ بَعْضِ الْقُرْآنِ
فَقاَلَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
وفىرواية , قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
وفىرواية , زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ
وفىرواية , مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ (الحديث)
Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Qur’an.
Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an.
(Al-Hadits)
•Hukum Meriwayatkan Hadits Ma’nawi
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ma’nawi. Sebagian ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan hadits dengan lafadznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadits dengan maknanya sekali-kali.
Jumhur ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadits dengan pengertiannya tidak dengan lafadz aslinya. Kalau ia seorang yang penuh ilmunya tentang Bahasa Arab dan mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh dan kemungkinannya lafadz-lafadz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut, kalau tidak demikian maka tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits hanya dengan maknanya saja dan wajib menyampaikan dengan lafadz yang ia dengan dari gurunya.
Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi:
“Hendaknya orang yang menyampaikan hadits itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafadz dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadits persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna., karena apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadits secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadits kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan hadits itu dari kitabnya.”
Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafadz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi lafadz yang asli, karena dia telah menerima hadits, lafadz dan maknanya.
Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadist dengan maknanya kalau lafadznya terlupa, karena kalau hadits itu tidak disampaikan walaupun dengan maknanya, termasuk yang menyembunyikan hadist. Al-Mawardi berkata: “Jika seseorang tidak lupa kepada lafadz hadits niscaya tidak boleh dia menyebutkan hadits itu dengan bukan lafadznya, karena di dalam ucapan-ucapan nabi sendiri terdapat fashahah yang tidak terdapat pada perawinya.”
Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadits itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hafits yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadits harus memakai kata-kata كما قال dan شبهه serta yang serupa dengannya.
Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan maknanya itu sebagai berikut:
1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin.
2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’.
3. Diperbolehkan, baik hadits itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadits itu tidak menyalahi lafadz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadits itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafadz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafadz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafadz dengan murodifnya.
6. Jika hadits itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
a. Hanya pada periode sahabat
b. Bukan hadits yang sudah didewankan atau di bukukan
c. Tidak pada lafadz yang diibadati, umpamanya tentang lafadz tasyahud dan qunut.
III. ANALISIS
Ada dua perspektif yang dilakukan sahabat dalam menerima sebuah hadits dan penerimaannya itu terlepas dari takut lupa atau tidak, yaitu:
1. Seluruh huruf yang dikeluarkan oleh nabi dipandang sebagai sunah dan ajaran yang perlu diambil bagi umat, atau dengan kata lain sahabat melihat sosok kenabian Muhammad SAW.
2. Sahabat melihat bahwa misi nabi itu tiada lain hanyalah sebagai pembawa paket perubahan (rahmatan lil’alamin), makanya mereka tidak terikat oleh bahasa rasul.
Kedua pandangan sahabat di atas menjadi “kata kunci” dalam menilai sebuah hadits pada masa-masa sesudahnya. Pandangan pertama menimbulkan hadits lafdzi, sedang pandangan kedua menimbulkan hadits ma’na. Hadits lafdzi dapat terjadi pada hadits qauliyah, fi’liyah dan taqririyah begitu pula hadits ma’na.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada hadits-hadits di bawah ini:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول:
إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
عن أبى هريرة رضي الله عنه أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ( أخرجه السيخان )
Artinya: Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari Muslim)
عن سمرة بن جندب رضي الله عنه قال , قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيْثٍ يَرَيَ اَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ ( رواه مسلم )
Artinya: Dari Samurah bin Jundub ra., ia berkata Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa berbicara dengan sesuatu hadits yang dikatakannya datang dari aku, padahal ia mengetahui bahwa ia dusta, maka orang itu termasuk salah seorang dari para pendusta”. (HR. Muslim)
Jika dilihat secara tekstual, ketiga hadits di atas adalah hadits lafdzi dengan tiga periwayatan. Yang pertama diriwayatakan oleh Muslim dengan sanad dari Al-Mughirah ra., yang kedua diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ( أخرجه الشيخان ) dengan sanad dari Abu Hurairah ra., dan ketiga diriwayatkan oleh Muslim melalui Samurah bin Jundub ra. Namun jika dilihat secara kontekstual, ketiga hadits di atas adalah hadits ma’nawi. Karena ketiga hadits tersebut mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu sama-sama melarang dusta atas nama Nabi Muhammad saw atau dengan kata lain larangan untuk membuat hadits palsu, dengan ancaman “neraka” sebagai balasannya.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa perbedaan antara hadits lafdzi dengan hadits ma’na adalah sedikit sekali, terletak hanya pada periwayatan lain yang menjadi sumber sandarannya. Kalau diumpamakan hadits itu sebuah kelompok, maka kumpulan kelompok yang terdiri dari beberapa person (orang) adalah hadits ma’nawi, sedang orang perseorangnya dinamakan dengan hadits lafdzi.
IV. KESIMPULAN
Periwayatan hadits terbagi kepada dua bagiaan, yaitu:
1. Dengan ucapan dan tutur bahasa sebagaimana yang didengar dari Nabi saw, dengan tidak mengurangi atau menambahnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan periwayatan hadits secara lafdzi.
Hadits yang diterima dengan cara ini ditetapkan oleh para ulama sebagai hujjah dengan tidak ada khilaf.
2. Dengan pengertian atau maksudnya, sedangkan lafadz dan ucapan (susunan bahasa) disusun sendiri. Hal inilah yang kemudian disebut dengan periwayatan hadits secara ma’nawi.
Hadits yang diterima dengan cara ini, diperselisihkan kehujjahannya oleh para ulama.
V. DAFTAR PUSTAKA
KHABTIB, Muhammad A’jaj, أصول الحديث علومه و مصطلحه , Beirut, 1989
ASH-SHIDDIQIE, Hasby, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1982
_____________, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1991
RAHMAN, Fatchur, Drs., Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Al-Ma’arif, Bandung, 1987
ABUDDIN NATA, Drs., MA., Al-Qur’an Dan Hadits (Dirasah Islamiyah I), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996
http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/hadits-riwayah/